Rusdy Bahalwan

Rusdy Bahalwan (lahir di Surabaya, 7 Juni 1947 – meninggal di Surabaya, 7 Agustus 2011 pada umur 64 tahun) adalah mantan pemain dan pelatih sepak bola Indonesia.

Karier
Rusdy mengawali karier sepak bolanya dari klub Assyabaab pada 1963[3] dan berposisi sebagai bek kanan. Pada 1970-1979 ia memperkuat Persebaya Surabaya dan merebut juara kompetisi Perserikatan pada 1976.Pada 1972 Rusdy dipanggil masuk tim nasional PSSI B. Setahun kemudian ia dipanggil tim Indonesia bersama empat pemain Persebaya lainnya yaitu Abdul Kadir, Waskito, Jacob Sihasale dan Budi Santoso. Mereka digembleng pelatih Djamiat Dalhar untuk persiapan terjun ke turnamen Merdeka Cup di Kuala Lumpur, Malaysia dan Anniversary Cup.Setelah gantung sepatu, Rusdy ditunjuk menjadi pelatih
Persebaya dan membawa klub itu juara Liga Indonesia III pada 1997. Pemain binaan Rusdy saat itu antara lain Jacksen F. Tiago, Carlos de Mello dan Eri Irianto. Sempat membesut tim nasional Piala Tiger 1998, Rusdi terakhir kali tercatat sebagai pelatih Persewangi Banyuwangi pada 2000. wikipedia


Maestro Bola Sekaligus Guru Agama
SURABAYA – Sepak bola merupakan napas kehidupan seorang Rusdy Bahalwan. Sejak muda, Rusdy hidup dalam lingkaran sepak bola. Ayahnya, Ali Bahalwan, adalah ketua Klub Assyabaab Surabaya. Kakaknya, (alm) Himyar Bahalwan, juga pemain bola. Karena itu, tak aneh jika Rusdy tergabung dalam klub tersebut. ”Dia mulai saat usia 16 tahun.
Bakatnya langsung menonjol dan sudah langsung dikenal di antara anak-anak gawang,” kata M. Barmen, ketua Assyabaab Surabaya saat ini. Waktu itu, lanjut Barmen, memang belum ada pembinaan usia dini. Dengan begitu, usia 16 tahun tersebut sudah cukup ideal untuk memulai langkah di klub. Sementara itu, Subodro –rekan Rusdy– menganggap Rusdy adalah inspirasinya. Dia tak pernah melupakan bahwa niat masuk Assyabaab dipengaruhi Rusdy yang dua tahun lebih dahulu bergabung di klub tersebut. Dia mendaftar ke klub tersebut pada 1967. ”Saya belajar belakangan.Tapi, banyak orang yang menilai permainan kami sangat padu. Dia di bek kiri dan saya sebagai gelandang,” kenang pria yang akrab disapa Bodem itu. Berdasar penilaian banyak pihak tersebut, mereka mulai ”dipaksa” untuk tampil bersama setelah berga_ bung di Persebaya pada 1973. Namun, sebagai pemain, dia harus mengikuti instruksi dari pelatih yang waktu itu dipegang oleh ayah Ferril Raymond Hattu, J.A. Hattu. Kala itu Bodem malah lebih dahulu masuk timnas junior. Tepatnya pada 1972. Tak lama kemudian, Rusdy menyusul. Berpasangan dengan pemain lain memang tak menjadi perkara bagi Bodem.
Tetapi, dia tetap merasa kurang maksimal tanpa Rusdy. ”Akhirnya di timnas kami kembali dipersatukan,” kata dia. Instruksi Hattu untuk mempersatukan Rusdy dan Bodem tak salah. Empat tahun dipoles terus-menerus, keduanya sangat berperan dalam meng antarkan Persebaya menjadi jawara kompetisi Perserikatan 1977. ”Dari sana duet kami di lapangan, bek kiri dan gelandang, menjadi ditakuti,” tutur Bodem bangga. Kisah manis itu tak berhenti saat mereka tidak lagi menjadi pemain. Keduanya kembali tampil bersama setelah berganti predikat sebagai pelatih. Sukses fenomenal keduanya adalah Rusdy dan Bodem berhasil mengantarkan Jawa Timur (Jatim) menjadi juara PON pada edisi 1996. Bodem yang selalu bersama saat menjadi pemain dan pelatih tak hanya mengingat detail keber samaan di lapangan.

”Kesukaan kami sangat berbeda kalau sudah urusan di luar lapangan,” kata Bodem. Mulai soal makan. Bodem adalah penyuka menu baru. Dia tak takut memilih masakan khas daerah yang sedang didatangani saat laga away. Sebaliknya, Rusdy memilih menu aman. ”Kalau dia asal kambing saja, di mana saja,” kenang Bodem. Ketidaksepahaman itu juga menyangkut selera film. Jika Bodem menyukai film koboi, Rusdy memilih film-film berbau India. ”Kami sering jalan bareng ke bioskop. Tapi, akan memilih studio yang berbeda, sesuai dengan selera masing-masing,” kata dia. Bagaimana dengan urusan cewek? ”Itu sudah urusan masing-masing. Aturannya tak saling menganggu,” ujar Bodem, lantas tertawa.Bagaimana Rusdy di mata keluarga? Bagi Irfan Bahalwan, putra pertama Rusdy, memiliki ayah dengan nama besar tidaklah mudah. ”Awalnya berat karena tuntutan masyarakat luar tak bisa diredam. Tapi, pada akhirnya saya lebih banyak bangga dengan prestasi papa,” kata pria berusia 28 tahun itu. Untung, lanjut Irfan, Rusdy bukanlah sosok yang suka memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Bahkan, saat sakit, Rusdy sama sekali tak pernah mengeluh. ”Yang ditanamkannya adalah kejujuran dan optimisme,” terang Irfan yang kini menetap di Bandung. Sementara itu, di mata istri, Rusdy bukan sosok yang senang nekaneka. ”Bapak orangnya simpel dan baik kepada semua anaknya,” kata dr Ramadhani MKes.Nani –sapaan Ramadhani– menyatakan bahwa suaminya penggemar makanan sop buntut, gulai, dan beef steak. Soal penampilan, Rusdy termasuk orang yang sadar fashion. ”Pokoknya, bapak selalu ingin pakai model yang sedang in. Tapi, yang enggak terlalu ribet,” kenang Nani soal selera berpakaian suaminya itu. Pada pemakaman Rusdy kemarin, nuansa duka memang sangat terasa. Baik saat di rumah duka di Rungkut Mejoyo Selatan, Surabaya, maupun di pemakaman Pegirian, Sidotopo. Namun, di sisi lain, pemakaman itu malah seperti reuni seluruh insan sepak bola lintas generasi.
Mantan pemain bintang Persebaya berbaur di rumah tersebut. Manajer, pengurus Persebaya, dan pengurus PSSI Surabaya hadir di sana. Indah Kurnia, Lilik Suhartoyo, dan Arif Afandi yang pernah menjadi manajer Persebaya hadir. Juga, mantan pemain yang pernah diantar kannya menjadi juara pada edisi 1987 dan 1997. Kini Rusdy telah tiada. Tak hanya Nani yang berduka. Surabaya dan sepak bola tanah air kehilangan sosok penting. Ya, Surabaya dan Indonesia ditinggal pergi sang maestro sepak bola untuk selamanya. (vem/dra/c10/aww)