Karier
Rusdy
mengawali karier sepak bolanya dari klub Assyabaab pada 1963[3] dan berposisi
sebagai bek kanan. Pada 1970-1979 ia memperkuat Persebaya Surabaya dan merebut
juara kompetisi Perserikatan pada 1976.Pada
1972 Rusdy dipanggil masuk tim nasional PSSI B. Setahun kemudian ia dipanggil
tim Indonesia bersama empat pemain Persebaya lainnya yaitu Abdul Kadir,
Waskito, Jacob Sihasale dan Budi Santoso. Mereka digembleng pelatih Djamiat
Dalhar untuk persiapan terjun ke turnamen Merdeka Cup di Kuala Lumpur, Malaysia
dan Anniversary Cup.Setelah
gantung sepatu, Rusdy ditunjuk menjadi pelatih
Persebaya dan membawa klub itu juara Liga Indonesia III pada 1997. Pemain binaan Rusdy saat itu antara lain Jacksen F. Tiago, Carlos de Mello dan Eri Irianto. Sempat membesut tim nasional Piala Tiger 1998, Rusdi terakhir kali tercatat sebagai pelatih Persewangi Banyuwangi pada 2000. wikipedia
Persebaya dan membawa klub itu juara Liga Indonesia III pada 1997. Pemain binaan Rusdy saat itu antara lain Jacksen F. Tiago, Carlos de Mello dan Eri Irianto. Sempat membesut tim nasional Piala Tiger 1998, Rusdi terakhir kali tercatat sebagai pelatih Persewangi Banyuwangi pada 2000. wikipedia
Maestro
Bola Sekaligus Guru Agama
SURABAYA
– Sepak bola merupakan napas kehidupan seorang Rusdy Bahalwan. Sejak muda,
Rusdy hidup dalam lingkaran sepak bola. Ayahnya, Ali Bahalwan, adalah ketua
Klub Assyabaab Surabaya. Kakaknya, (alm) Himyar Bahalwan, juga pemain bola.
Karena itu, tak aneh jika Rusdy tergabung dalam klub tersebut. ”Dia mulai saat
usia 16 tahun.
Bakatnya
langsung menonjol dan sudah langsung dikenal di antara anak-anak gawang,” kata
M. Barmen, ketua Assyabaab Surabaya saat ini. Waktu itu, lanjut Barmen, memang
belum ada pembinaan usia dini. Dengan begitu, usia 16 tahun tersebut sudah
cukup ideal untuk memulai langkah di klub. Sementara itu, Subodro –rekan Rusdy–
menganggap Rusdy adalah inspirasinya. Dia tak pernah melupakan bahwa niat masuk
Assyabaab dipengaruhi Rusdy yang dua tahun lebih dahulu bergabung di klub
tersebut. Dia mendaftar ke klub tersebut pada 1967. ”Saya belajar belakangan.Tapi,
banyak orang yang menilai permainan kami sangat padu. Dia di bek kiri dan saya
sebagai gelandang,” kenang pria yang akrab disapa Bodem itu. Berdasar penilaian
banyak pihak tersebut, mereka mulai ”dipaksa” untuk tampil bersama setelah
berga_ bung di Persebaya pada 1973. Namun, sebagai pemain, dia harus mengikuti
instruksi dari pelatih yang waktu itu dipegang oleh ayah Ferril Raymond Hattu,
J.A. Hattu. Kala itu Bodem malah lebih dahulu masuk timnas junior. Tepatnya
pada 1972. Tak lama kemudian, Rusdy menyusul. Berpasangan dengan pemain lain
memang tak menjadi perkara bagi Bodem.
Tetapi,
dia tetap merasa kurang maksimal tanpa Rusdy. ”Akhirnya di timnas kami kembali
dipersatukan,” kata dia. Instruksi Hattu untuk mempersatukan Rusdy dan Bodem
tak salah. Empat tahun dipoles terus-menerus, keduanya sangat berperan dalam
meng antarkan Persebaya menjadi jawara kompetisi Perserikatan 1977. ”Dari sana
duet kami di lapangan, bek kiri dan gelandang, menjadi ditakuti,” tutur Bodem
bangga. Kisah manis itu tak berhenti saat mereka tidak lagi menjadi pemain.
Keduanya kembali tampil bersama setelah berganti predikat sebagai pelatih.
Sukses fenomenal keduanya adalah Rusdy dan Bodem berhasil mengantarkan Jawa
Timur (Jatim) menjadi juara PON pada edisi 1996. Bodem yang selalu bersama saat
menjadi pemain dan pelatih tak hanya mengingat detail keber samaan di lapangan.
”Kesukaan
kami sangat berbeda kalau sudah urusan di luar lapangan,” kata Bodem. Mulai
soal makan. Bodem adalah penyuka menu baru. Dia tak takut memilih masakan khas
daerah yang sedang didatangani saat laga away. Sebaliknya, Rusdy memilih menu
aman. ”Kalau dia asal kambing saja, di mana saja,” kenang Bodem.
Ketidaksepahaman itu juga menyangkut selera film. Jika Bodem menyukai film
koboi, Rusdy memilih film-film berbau India. ”Kami sering jalan bareng ke
bioskop. Tapi, akan memilih studio yang berbeda, sesuai dengan selera
masing-masing,” kata dia. Bagaimana dengan urusan cewek? ”Itu sudah urusan
masing-masing. Aturannya tak saling menganggu,” ujar Bodem, lantas tertawa.Bagaimana
Rusdy di mata keluarga? Bagi Irfan Bahalwan, putra pertama Rusdy, memiliki ayah
dengan nama besar tidaklah mudah. ”Awalnya berat karena tuntutan masyarakat
luar tak bisa diredam. Tapi, pada akhirnya saya lebih banyak bangga dengan
prestasi papa,” kata pria berusia 28 tahun itu. Untung, lanjut Irfan, Rusdy
bukanlah sosok yang suka memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Bahkan, saat
sakit, Rusdy sama sekali tak pernah mengeluh. ”Yang ditanamkannya adalah
kejujuran dan optimisme,” terang Irfan yang kini menetap di Bandung. Sementara
itu, di mata istri, Rusdy bukan sosok yang senang nekaneka. ”Bapak orangnya
simpel dan baik kepada semua anaknya,” kata dr Ramadhani MKes.Nani
–sapaan Ramadhani– menyatakan bahwa suaminya penggemar makanan sop buntut,
gulai, dan beef steak. Soal penampilan, Rusdy termasuk orang yang sadar
fashion. ”Pokoknya, bapak selalu ingin pakai model yang sedang in. Tapi, yang
enggak terlalu ribet,” kenang Nani soal selera berpakaian suaminya itu. Pada
pemakaman Rusdy kemarin, nuansa duka memang sangat terasa. Baik saat di rumah
duka di Rungkut Mejoyo Selatan, Surabaya, maupun di pemakaman Pegirian,
Sidotopo. Namun, di sisi lain, pemakaman itu malah seperti reuni seluruh insan
sepak bola lintas generasi.
Mantan
pemain bintang Persebaya berbaur di rumah tersebut. Manajer, pengurus
Persebaya, dan pengurus PSSI Surabaya hadir di sana. Indah Kurnia, Lilik
Suhartoyo, dan Arif Afandi yang pernah menjadi manajer Persebaya hadir. Juga,
mantan pemain yang pernah diantar kannya menjadi juara pada edisi 1987 dan
1997. Kini Rusdy telah tiada. Tak hanya Nani yang berduka. Surabaya dan sepak
bola tanah air kehilangan sosok penting. Ya, Surabaya dan Indonesia ditinggal
pergi sang maestro sepak bola untuk selamanya. (vem/dra/c10/aww)